Tugas Individu
RANGKUMAN MATERI
AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 2
NAMA
: MUH. DAHYAR
NIM
: 10538 2078 11
KELAS
: 11. B
NO.URUT
: 31
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2O12
1. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
Agama
sangat penting dalam kehidupan manusia antara lain karena agama merupakan : 1)
sumber moral,
2)
petunjuk kebenaran,
3)
sumber informasi tentang masalah metafisika, dan
4)
bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka maupun duka.
Sekurang-kurangnya
ada tiga alasan yang melatar belakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan
tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Fitrah Manusia
Dalam
bukunya berjudul prospektif manusia dan agama, Murthada Muthahhari mengatakan
bahwa disaat berbicara tentang para Nabi Imam Ali as. Menyebutkan bahwa mereka
diutus untuk mengingat manusia kepada manusia yang telah diikat oleh fitrah
manusia, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu
tidak dicatat diatas kertas melainkan dengan pena ciptaan Allah dipermukaan
terbesar dan lubuk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta
dikedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan
bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan
kepada agama islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia,
sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa akhir-akhir ini
muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitri keagamaan
yang ada pada diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia
kepada agama, oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia
agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya hal
tersebut.
Dalam
konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [الروم/30]
Artinya ;
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
sesuai dengan fitrah itu (QS.Al-rum : 30)
Setiap
ciptaan Allah dicipakan dengan mempunyai fitrahnya sendiri-sendiri.
Kesimpulannya
bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri
manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini
memerlukan pembinaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara
mengenalkan agama kepadanya.
2. Kelemahan dan Kekurangan
Manusia.
Faktor
lainnya yang melatar belakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping
manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan .
Walaupun
manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala
makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan
kekurangan karena terbatasnya kemampuan M. abdul alim Shaddiqi dalam bukunya
“Quesk For True Happines” menyatakan bahwa keterbatasan manusia itu terletak
pada pengetahuannya hanyalah tentang apa yang terjadi sekarang dan sedikit
tentang apa yang telah lampau. Adapun tentang masa depan yang sama sekali tidak
tahu, oleh sebab itu kata beliau selanjutnya hukum apapun yang dapat dibuat
oleh manusia tentang kehidupan insani adalah berdasarkan pengalaman masa lalu.
Selanjutnya dikatakan disamping itu manusia menjadi lemah karena di dalam
dirinya ada hawa nafsu yang selain mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada
lagi iblis yang selain berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan
kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini hanyalah dengan senjata
agama.
Allah
menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya
dengan batas-batas tertenu dan dalam keadaan lemah.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ
بِقَدَرٍ [القمر/49]
Artinya :
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan
ukuran (batas) tertentu (QS. Al-Qomar : 49)
Untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya dan keluar dari kegagalan-kegagalan
tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan wahyu akan agama .
3. Tantangan Manusia
Faktor
lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
luar maupun yang datang dari dalam. Tantangan dari dalam berupa dorongan hawa
nafsu dan bisikan setan. Sedangkan yang datang dari luar dapat berupa rekayasa
dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin
memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarka biaya, tenaga,
dan fikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang
didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan. Allah berfirman dalam
Al-Qr’an Surat Al-Anfal : 36
Yang
artinya : “sesungguhya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah”.(QS.Al-Anfal:36)
Orang-orang
kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka
gunakan agar orang-orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya,
hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebaginya dibuat dengan sengaja. Untuk
itu, upaya membatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajarkan mereka
agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini
meningkat, sehingga uapaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
2.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI MANUSIA SEBAGAI
HAMBA, KHALIFAH,DAN PERMBAGIANNYA
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah
di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk
beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan
kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah
sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk
beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia
dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di
bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta
bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat
tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini
kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah
seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah
ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah
selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti
Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk
beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah
kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk
beribadah kepada Allah. Dalam am, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah
primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah).
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu
mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah
mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang
melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah
mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah
ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah
mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah
adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi
tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah
mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita
sudah tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah
melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia,
lalu kita mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan
tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu
mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang
sedang lapar.
3.
AGAMA
SAMAWI DAN AGAMA ARDLY
1.
AGAMA SAMAWI/WAHYU
Agama samawi/wahyu
disebut juga agama langit yang artinya agama yang diterima oleh manusia dari
allah sang pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan
oleh rasul-nya kepada umat manusia.
Adapun ciri-ciri agama samawi sebagai berikut :
1. Agamanya
tumbuh secara kelahiran dapat ditentukan dari tidak ada menjadi ada.
2. Agama
ini mempunyai kitab suci yang otentik (ajarannya bertahan/asli dari tuhan)
3. Secara
pasti dapat ditentukan lahirnya,dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan
diturunkan kepada masyarakat.
4. Disampaikan
oleh manusia yang dipilih allah sebagai utusan-nya.
5. Ajarannya
serba tetap,walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan
kepekaan manusia.
6. Konsep
ketuhanannya monotheisme mutlak (tauhid).
7. Kebenarannya
adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan.
2. AGAMA ARDLY/BUDAYA
Suatu faham yang berasal dari suatu tradisi, adat istiadat yang harus
dilestarikan.
Adapun ciri-ciri agama ardly/budaya sebagai berikut:
1. Konsep
ketuhanannya panthaisme, dinamisme, dan animisme.
2. Tumbuh
secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
3. Tidak
disampaikan oleh utusan tuhan (rasul)
4. Umumnya
tidak memiliki kitab suci.
5. Ajarannya
dapat berubah-ubah ,sesuai dengan akal perubahan akal pikiran penganutnya.
6. Kebenaran
ajarannya tidak universal,yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia,masa dan
keadaan.
Perbedaan ke dua agama ini dikemukakan
Al Masdoosi dalam Living Religius of the world sebagai berikut:
1. Agama
wahyu berpokok pada konsep keesaan tuhan,sedangkan agama budaya tidak demikian.
2. Agama
wahyu beriman kepada nabi,sedangkan agama budaya tidak.
3. Agama
wahyu sumber utamanya adalah kitab suci yang diwahyukan,sedangkan agama budaya
kitab suci tudak penting.
4. Semua
agama wahyu lahir di timur tengah,sedangkan agama budaya lahir diluar itu.
5. Agama
wahyu lahir da daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh ras simetik.
6. Agama
wahyu memberikan arah yang jelas dan lengkap baik spiritual maupu material
sedangkan agama budaya menitik beratkan aspek spiritual saja.
7. Ajaran
agama wayu jelas dan tagas, sedangkan agama budaya kabur dan elastis.
4. ISLAM SEBAGAI DIENULLAH
Dienul Islam adalah
satu-satunya dien (tatanan kehidupan) yang diakui Allah, yang ditegakkan dan
dibangun para Rosul-Nya berdasarkan Dienullah. Sedangkan Dienullah itu sendiri
adalah suatu konsep atau sistem kehidupan semesta yang murni “produk” Allah
(Kalimatullah, Kalimah Thoyyibah) yang sempurna dan abadi, tak pernah terjadi
perubahan di padanya. Tidak ada sedikitpun campur tangan manusia terhadapnya.
Kalaupun terjadi manusia campur tangan terhadapnya, Allah menyebutnya sebagai
“iftiro” (mengada-ada) atau kebohongan, suatu tindakan mencampuri urusan Allah,
menandingi Allah atau membuat kepalsuan (yakdzibuun).
Adapun yang disebut
“budaya” atau “kebudayaan” dan “peradaban” adalah produk manusia, berupa segala
tindakan, perbuatan dan perilaku manusia yang muncul dari proses yang
terjadi pada jiwanya, yakni rasa, karsa dan cipta
(perasaan, keinginan dan fikiran) manusia, dan segala wujud yang dihasilkan
dari perbuatannya itu.
Namun di sisi lain,
sebagaimana yang Allah tegaskan bahwa manusia itu amat dholim dan amat bodoh.
Wawasan dan kemampuan pengamatan dan penalarannya penuh keterbatasan dan
kelemahan. Sehingga seringkali terjadi, atau amat kuat kecenderungaannya, bahwa
perbuatan yang mereka pilih dan lakukan, yang dimaksudkan untuk menghasilkan
sesuatu yang akan menyenangkan dan mereka nikmati, tanpa mereka sadari justru
akan menghasilkan atau berdampak pada terjadinya hal-hal yang buruk, yang
sebenarnya tidak mereka sukai dan ingin mereka hindari.
Dalam mengembangkan
aktifitas hidup dan amal usahanya, manusia akan dihadapkan kepada berbagai
pilihan menyangkut bentuk-bentuk dan cara yang akan ditempuh serta budaya dan
ethos kerja yang harus dikembangkan, juga menyangkut benturan atau silang
berbagai kepentingan. Keadaan ini cukup rentan terhadap munculnya perselisihan
yang akan melemahkan atau penyimpangan arah dari missi risalah dan essensi
amanah, yang pada dasarnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Maka untuk itu,
bimbingan dan petunjuk Allah yang diturunkan berdasarkan asma`nya yang Rahman
Rahim, harus termanifestasikan sebagai suatu sistem kontrol (kendali), yang
untuk itu mutlak diperlukan suatu struktur kelembagaan yang sah (legitimate),
rapi dan efektif, di dalam mana sistem kontrol (kendali) samawi (“I`tishom
bi hablillah”) dikembangkan.
Tentang hal ini, di
dalam Al Quran Allah telah cukup memberi petunjuk dan arahan yang amat jelas
dan qoth’i, di mana satu-satunya sistem kelembagaan yang medapat legitimasi di
sisi Allah dalam konteks amanah-Nya ini, hanyalah suatu sistem Robbani
yang eksis di bumi sebagai “Ummatan Wahidah” di bawah pimpinan para
Rosul. Keseluruhan sistem dari tatanan kehidupan yang mereka bangun itulah
“Dienul Islam”.
Dengan demikian, Dienul Islam adalah suatu tatanan peradaban yang ditegakkan dan dibangun para Rosul bersama pengikutnya, berdasarkan Dienullah. Atau lebih tepatnya, peradaban yang ditumbuhkan dari “benih” Dienullah (Kalimah Thoyyibah). (Dengan kata “tumbuh” -semisal pohon- jelas sekali dimana peranan Allah dan peranan manusia).
Dengan demikian, Dienul Islam adalah suatu tatanan peradaban yang ditegakkan dan dibangun para Rosul bersama pengikutnya, berdasarkan Dienullah. Atau lebih tepatnya, peradaban yang ditumbuhkan dari “benih” Dienullah (Kalimah Thoyyibah). (Dengan kata “tumbuh” -semisal pohon- jelas sekali dimana peranan Allah dan peranan manusia).
5. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER POKOK AJARAN ISLAM
A. Sumber Hukum Islam
Sebelum membahas
pengertian sumber ajaran Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian
sumber hukum Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah SWT, yaitu
hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana terkandung dalam
kitab suci Al-Qur’an dan Hadits (sunah). Syariat Islam juga merupakan hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim
maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Al-Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Al-Qur’an dan Hadits) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Menurut ulama usul fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Al-Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Al-Qur’an dan Hadits) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
B. Sumber Ajaran Islam
Sumber
ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan
sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu Al-Qur’an
(kitabullah), As-Sunnah (kini dihimpun dalam Hadits), dan ra’yu atau akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
1. AL QUR’AN
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan alam.
Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan Al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
1. AL QUR’AN
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan alam.
Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur dikatakan Al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan
Artinya:
“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya”.(Al-Qiyamah :17-18).
Sedangkan menurut para ulama klasik, Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Sedangkan menurut para ulama klasik, Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Al-Qu’ran
dapat juga diartikan kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah , sama
benar dengan disampaikan oleh Malaikat jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rosul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,mula – mula di
Mekah kemudian di Madinah.
Adapun
pokok-pokok kandungan dalam Al-Qur’an antara lain:
a) Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
b) Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
c) Janji dan ancaman (al wa’ad wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
d) Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran Al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
a) Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
b) Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
c) Janji dan ancaman (al wa’ad wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
d) Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran Al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Sumber
ajaran Islam dirumuskan dengan jelas yakni terdiri dari tiga sumber yaitu
Al-Qur’an, dan ra’yu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad. Al-Quran adalah sumber agama (juga ajaran) islam yang pertama dan
utama. Secara etimologis, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan dan menghimpun. As-Sunnah
atau Hadits adalah sumber agama (juga ajaran) islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Sunnah menurut istilah syar’i adalah sesuatu yang berasal dari
Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan pengakuan.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang kurang jelas atau
sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Ar-Rayu
dipakai apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quran
maupun Haditst, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal
pikiran dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Haditst. Ar-Ra’yu ada 6 macam
yaitu : Ijma’, Qiyas, Istihsan, Mushalat Murshalah, Sududz Dzariah, Istishab
dan Urf.
6. HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM YANG
KEDUA
Hadits merupakan
segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah
meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila
seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh
Rasulullah SAW:
رَسُوْلِهِ سُنَّةُ وَ اللهِ كِتَابَ اَبَدًا ضِلُّوْا تَلَنْ بِهِمَا مَسَّكْتُمْ تَمَا اَمْرَيْنِ فِيْكُمْ تَرَكْتُ
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian
tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunah Rasulnya”. (HR. Imam Malik)
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1.
Memberikan rincian dan penjelasan
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oleh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
وَالطِّحَالِ فَالْكَبِدُ : الدَّمَانِ وَاَمَّا, وَالْجَرَادُ
الْحُوْتُ: الْمَيْتَتَانِ فَامَّا, دَمَانِ وَ مَيْتَتَانِ لَنَا اُحِلَّتْ
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2.
Menetapkan hukum atau aturan-aturan
yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang
dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
بِالتُّرَابِ اَوْلَهِنَّ مَرَّاتٍ سَبْعَ يُغْسِلَ اَنْ
الْكَلْبُ فِيْهِ وَلِغَ اِذَا اَحَدِكُمْ اِنَاءِ طُهُوْرُ
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1.
Hadits
Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat,
dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2.
Hadits
Makbul, adalah hadits-hadits yang
mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits
Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
3.
Hadits
Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan
termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak
terlalu berat atau tidak terlalu penting
4.
Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau
sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
7. AKAL DAN
FUNGSINYA DALAM MEMAHAMI ISLAM
A. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara
lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai
lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa
Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna
adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara
(merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga
memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi
al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai,
mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah
digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam
istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem
solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan
dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata
‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal
ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang mengandung
arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran
tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun
Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat
Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa
(an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi
(796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat
tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya
berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya
berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di
kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh
pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang
ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan
tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga
memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal
merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta
perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan
di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang
dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta
mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka
kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang
dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan
al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu
al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud
dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya
karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya
padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal
dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan
dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar
diri manusia, yakni dari Allah SWT.
B. Fungsi
Dan Kedudukan Akal
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal
dengan mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya
pikir manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif,
sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat
metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami
islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1.
Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap
dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul,
dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2.
Akal merupakan potensi dan modal yang melekat
pada diri manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian
al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.
Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat
menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.
Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan
al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah
Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana
pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk itu,
diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
8. METODE MEMPELAJARI ISLAM
Sejak
kedatangan Islam abad ke-13 hingga saat ini, pemahaman tentang ke-Islaman ummat
Islam di Indonesia sangat variatif. Keadaan ini juga terjadi pada negara lain.
Gejala seperti ini apakah memang sudah alami yang menjadi sebuah kenyataan
untuk bisa diambil hikmahnya, ataukah diperlukan standart umum untuk bisa
mengetahui keadaan yang variatif seperti ini. Sehingga sesuatu yang variatif
ini tidak keluar dari ajaran yang tekandung dalam al-Qur’an dan As-Sunnah
sehingga tidak akan keluar dari keabsahannya.
Dalam
buku yang berjudul Tentang Sosiologi Islam, karya Ali Syariati dijumpai uraian
singkat tentang metode memahami yang pada intinya Islam harus di lihat dari
berbagai dimensi. Dalam hubungan ini ia mengatakan jika kita meninjau Islam
dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja
dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara
tepat, namun tidak cukup apabila kita memahami secara keseluruhan.
Ali
Syariati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam
a.
Dengan mengenal Allah dan
membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain
b. Dengan mempelajari Kitab suci Al-Qur’an dan membandingkan
dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi)
lainnya.
c. Mempelajari kepribadian Rasul Islam
dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembahruan yang pernah hidup
dalam sejarah.
d. Mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan
tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.
Pada
intinya metode ini adalah metode komparasi (perbandingan). Secara akademis
suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki
obyektifitas. Selain dengan menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syariati juga
menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Tugas intelektual
hari ini ialah mempelajari memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang
membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat.
NASRUDDIN
RAZAK metode memahami Islam sama dengan Ali Syariati menawarkan metode pemahaman
Islam secara menyeluruh. Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting
walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami
agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan
untuk menumbuhkan sikap yang hormat bagi pemeluk agama lainnya. Untuk memahami
agama Islam secara benar Nasruddin Razak mengajukan empat cara :
1. Islam harus dipelajari dari sumber aslinya Al-Qur’an dan
hadits. Kekeliruan memahami Islam, karena orang mengenalnya dari sebagian ulama
dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan Al-Sunah, atau
melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang semangatnya
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara
demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme,
yakni bercampur dengan hal-hal yang tidak islami jauh dari ajaran islam yang
murni.
2. Islam harus di pelajari dengan integral, tidak dengan cara
persial artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang
bulat tidak secara sebagian saja. Memahami Islam secara persial akan
membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh
para ulama besar dan Islam, karena pada
umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman yang lahir
dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan teologi normatif
yang ada dalam al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis,
empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
9. SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18
November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah
kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan
perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk
terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim,
cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis
dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Mula-mula
ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke
luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan
kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping
memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut
"Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak
laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping
memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak,
beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau
telah mendirikan Sekolah Dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge
School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namanya menjadi
Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri
perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi
Mu`allimin dan Mu`allimat.
Suatu ketika
KH.Ahmad Dahlan menyampaikan usaha pendidikan setelah selesai menyampaikan santapan
rohani pada rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan
keinginan mengajarkan agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen
Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul
itu disetujui, dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya
banyak, hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa
Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis.
Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman
dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik
sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu
organisasi agar berkelanjutan sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.
Setelah pelaksanaan
penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan tentang
organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama
"Muhammadiyah" sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para
anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi
Muhammad saw. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan
dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat
dalam bahasa melayu dan Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah
terjadi pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Zulhijah 1330 H. Tgl 20 Desember
1912 diajukanlah surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar
perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah
memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui
Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal
22 Agustus 1914, No. 81, beserta alamporan statuennya.
Muhamadiyah
berasal dari kata bahasa Arab "Muhammad", yaitu nama nabi dan rasul
Allah yang terkhir. Kemudian mendapatkan "ya" nisbiyah, yang artinya
menjeniskan. Jadi, Muhamadiyah berarti "umat Muhammad saw." atau
"pengikut Muhammad saw.", yaitu semua orang Islam yang mengakui dan
meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Muhammadiyah
juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama ' Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A.
Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif
dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan
memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih
menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat
Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada
tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan
seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Rumusan
maksud dan tujuan Muhammadiyah sejak berdiri hingga sekarang ini telah
mengalami beberapa kali perubahan redaksional, perubahan susunan bahasa dan
istilah. Tetapi, dari segi isi, maksud dan tujuan Muhammadiyah tidak berubah
dari semula.
Pada
waktu pertama berdirinya Muhamadiyah memiliki maksud dan tujuan untuk
menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada penduduk bumi-putra,
dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Hingga
tahun 2000, terjadi tujuh kali perubahan redaksional maksud dan tujuan
Muhamadiyah. Dalam muktamarnya yang ke-44 yang diselenggarakan di Jakarta bulan
Juli 2000 telah ditetapkan maksud dan tujuan Muhamadiyah, yaitu Menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan
makmur yang diridhai Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar