ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI
DAN AKSIOLOGI.
I.
PENGANTAR
Filsafat
adalah akar dari segala pengetahuan manusia baik pengetahuan ilmiah
maupun pengetahuan non ilmiah. Dalam buku Filsafat ilmu sebuah pengantar
populer dijelaskan bahwa, seandainya seseorang berkata kepada kita
bahwa dia tahu bagaimana cara bermain gitar, maka seorang
lainnya mungkin bertanya, apakah pengetahuan anda itu
merupakan ilmu? Tentu saja dengan mudah dia dapat menjawab bahwa pengetahuan
bermain gitar itu bukanlah ilmu, melainkan seni. Demikian juga sekiranya
seseorang mengemukakan bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkitkan
kembali, akan timbul pertanyaan serupa apakah pengetahuan tentang sesuatu yang
bersifat transcendental yang menjorok ke luar batas pengalaman manusia
dapat disebut ilmu? Tentu jawabnya adalah “bukan”, sebab hal itu termasuk
dalam agama (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 104).
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak
langsung turut memperkaya kehidupan kita , sebab secara ontologis ilmu
membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman
manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat
transcendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab
pertanyaan kepada siapa saja, seperti kalau kita sesat jalan dan
bertanya kepada seseorang yang kebetulan nongkrong di tikungan.
Bagaimana kalau kita ingin ke surga malah ditujukan ke neraka ( Jujun S.
Suriasumantri, 2000: 105).
Setiap
pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan dikritisi oleh
diri sendiri maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang
dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” ? atau apanya yang
perlu diketahui maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri.
Sedangkan pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang
dipergunakan oleh kita dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah
kajian Epistemologi. Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi
manusia, dan makhluk lainnya, termasuk lingkungan dimana manusia berada,
disebut kajian aksiologi.
Seperangkat
“alat” yang diperlukan untuk menangkap fenomena alam, fakta realitas empiris,
dan realita metafisika, antara lain adalah: Indera, naluri, akal
, intuisi, dan hati nurani. Pencapaian manusia pada tingkat tertinggi
dalam menagkap kebenaran fenomena tersebut, Al-Ghazali menyebutnya dengan
akselerasi atau penanjakan (Mi’raj) nya manusia yang berpengetahuan yaitu
menghambakan diri kepada Nya, sehingga terbuka pintu kebenaran, tergenggam
kunci pembuka hal yang di luar jangkauan empiris dan rasional yaitu Metafisika.
Maslow menyebutnya dengan Motif Self Transcendental (Nadiroh:
2008).
Akal
manusia memikirkan sesuatu dan mempersepsinya sesuai dengan tingkat ketajaman
berpikir dan kecerdasannya masing-masing , karenanya maka butuh masyarakat
ilmiah dan masyarakat awam, yang membedakannya secara tajam. Namun demikian
keawaman akan meningkat jika terus belajar, artinya meningkat ke ilmiah,
danmasyarakat ilmiah akan meningkat ke yang lebih tinggi dari ilmu baik dari
sisi ontologi, epistemologi maupun aksiologinya, yaitu filsafat dan agama.
Dengan tetap memegang yang pernah dimilikinya, sebagai tambahan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan dan kematian serta kehidupan setelah
kematian.
Dalam
tulisan ini hanya membatasi diri pada yang bisa ditangkap panca indera dan
rasio, yang kaluapun lewat batas metafisika yang masih bisa relatif dilihat dan
dipikirkan. Sebagaimana, contoh sebuah sajak berikut ini:
Faraddudin
Attar bangunlah pada malam hari
Dan
dia memikirkan tentang dunia ini
Ternyata
dunia ini
Adalah
sebuah peti
Sebuah
peti yang besar dan tertutup di atasnya
Dan
kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia
sebuah peti yang besar
Dan
tertutup di atasnya
Dan
kita terkurung di dalamnya
Dan
kita berjalan-jalan di dalamnya
Dan
kita bermenung di dalamnya
Dan
kita beranak di dalamnya
Dan
kita membuat peti di dalamnya
Dan
Kita membuat peti
Di
dalam peti ini….
(Taufik
Ismail Membaca Puisi, Taman Ismail Marzuki, 30-31 Januari 1980 h. 23
sebagaimana dikutip oleh Jujun S . Suriasumantri, dalam buku
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2000: 63).
Jika
dilakukan refleksi, ternyata dunia ini bukan sebuah peti,
karena peti adalah benda mati, tidak memiliki kehidupan, dinamika perubahan,
transformasi nilai dan metamorfosa.Hal ini terjadi hampir dialami oleh
sebagian makhluk hidup terlebih- lebih manusia. Sehingga manusia
selalu ingin tahu , ingin berubah dan ingin hidup lebih berkualitas. Tapi,
namanya juga sajak, tentu sesuai persepsi dan imajinasi kontekstual saat itu,
jadi ya sah-sah saja.
Hal
ini berimplikasi pada peningkatan keluasan, kedalaman, dan keberagaman kajian
atau wilayah kajian pengetahuan, ilmu, filsafat dan agama. Dengan kata lain
Cakupan Ontologi pengetahuan, ilmu, filsafat dan agama semakin meluas,
mendalam, dan beragam sesuai dengan peningkatan pola pikir manusia, tingkat
kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup lebih efektif, efisien, dan
berkualitas. Tujuan hidup ini tidak hanya diorientasikan untuk dirinya saja
melainkan untuk segenap keturunannya, dan lingkungan masyrakat, bangsa dan
negara.
Sehingga
tidak heran manusia akan mengekplorasi, mengelaborasi, menganalisis
deduktif dan induktif, refleksi kritis dan perenungan yang panjang
untuk meneropong objek empiris jagat raya dan segala isinya, termasuk
keunikan, keanekaragamannya baik dari klasifikasi jenis maupun kompleksitas
perubahannya.
Sebanyak
kajian atau ontologi yang dikuasai dan disukainya dalam perjalanan pengalaman
manusia, maka sebanyak itulah kekayaan pengetahuan manusia dalam menangkap dan
merespon alam jagat raya ini.
Syair
lagu yang berjudul “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar
“
Dunia ini Panggung Sandiwara …. Ceritanya mudah berubah.”
Sehingga
timbul pertanyaan, apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya?
Bidang-bidang telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat
berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah.
Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang,
menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika, adalah landasan
peluncurannya. DUNIA yang sepintas lalu kelihatan sangat
nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya
(Jujun S. Suriasumantri : 2000: 64).
Descartes
mengemukakan bahwa Cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada!),
Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan
sebuah lempeng lilin yang licin (tabularasa) di mana pengalaman indera kemudian
melekat pada lempeng itu (Jujun S. Suriasumantri : 2000: 68), yang dapat
menimbun dan mengakumulasi sampai pada tingkatan pengalaman indera yang
kompleks dan lengkap. Berbeda dengan Berkeley yang terkenal dengan pernyataan,
“To be is to be perceived” yaitu ada adalah disebabkan oleh persepsi
(Jujun S. Suriasumantri : 2000: 68).
Untuk
mengurai benang kusut tentang “keberadaan” pengetahuan, bagaimana cara
memperolehnya dan “Nilai” kegunaannya bagi manusia dan sekitar seluk
beluknya, maka kita urai beberapa persoalan yang dipikirkan
dan dipelajari secara mendalam yaitu berikut ini:
- a. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan keberadaan atau eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika.
- Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Pengetahuan ditinjau dari isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi. Sedangkan kebenaran ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.
- Persialan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai kebaikan tingkah laku dan nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan dengan cabang filsafat etika. Nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika (Ali Mudhofir: 1997: 16).
Berdasarkan
ketiga persoalan di atas maka selanjutnya akan dibahas tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi pengetahuan dan pengetahuan ilmiah.
II.
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAB AKSIOLOGI
ONTOLOGI
Cabang
utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan
hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat,
dan kemungkinan.
Namun
di lapangan, penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk
pada “hal-hal yang di luar dunia fisika”. “Toko buku metafisika”, sebagai
contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada
buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif,
dan hal-hal sejenisnya.
“Tidak
ada sesuatu yang disebut sebagai ‘konsep metafisika’. Tidak ada sesuatu yang
disebut dengan nama metafisika. Metafisika merupakan suatu determinasi atau
arah yang diambil oleh suatu mata rantai. Seseorang tak dapat menghadapkannya
pada sebuah konsep, tetapi pada suatu proses kerja tekstual atau perangkaian
yang lain” ( Abdul Hakim, 2000: 95 ).
Penafsiran
metafisika keilmuwan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologi
sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik.
Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat
dogmatik Galileo (1564-1642 M), menolak dogma agama bahwa : matahari berputar
mengelilingi bumi” sebab pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
faktual sebagaimana dikemukakan oleh Copernicus (1473-1543 M). Pengadilan
inquisisi terhadap Galileo oleh penguasa agama pada musim dingin tahun 1633 M,
merupakan tonggak historis yang membebaskan ilmu dari nilai-nilai yang
bersifat dogmatik. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu menolak nilai-nilai yang
berkembang dalam kehidupan, namun sifat dogmatik itulah yang secara prinsipil
ditentang, suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah
hanya setelah melalui pengkajian/ penelitian berdasarkan epistomologi
keilmuwan. Einstein “ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta
apapun juga teori yang disusun di antara keduanya (http://parapemikir.com/metafisika-dan-filsafat.html).
Dengan
demikian maka metafisika keilmwan yang berdasarkan kenyataan yang sebagaimana
adanya (das Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat
seharusnya (das Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang biasa
dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen
dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan meramalkan
mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan-meramalkan nilai moral
secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke
belakang ke jaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya
Inquisisi ala Galileo pada jaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa
dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen;
dari bagan dapat dilihat bahwa dari 18 asas moral yang terkandung dalam
kegiatan keilmuwan maka 17 di antaranya bersifat das Sollen. Dari 17
asas moral tersebut maka terdapat tiga asas yang terkait dengan aspek pemilihan
objek penelaah ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam
menetapkan objek telaah, kegiatan keilmuwan tidak boleh melakukan
upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan
mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan demikian maka ilmu menentang
percobaan mengenai genetika sebab bersifat mengubah kodrat manusia, percobaan
untuk mengontrol kelakuan manusia (behavioral/social engineering) sebab
merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk spesies
baru ( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Di
samping itu, metafisika juga, merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan
zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Objek metafisika
menurut Aristoteles, ada dua yakni : (1) ada sebagai yang ada;
pengetahuan yang mengkaji yang ada itu dalam bentuk
semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata
tidak terkena perubahan, yang bisa ditangkap panca indera; dan (2) ada sebagai
yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain,
yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera). (http://kanglana.indonesianforum.net/arti-metafisika-f8/apa-metafisika-t7-prev.htm)
Persoalan-persoalan
metafisis dibedakan menjadi tiga persoalan, yaitu: persoalan ontologi,
persoalan kosmologi dan persoalan antropologi. Istilah “ontologi” berasal
dari kata Yunani onta yang berarti “yang ada secara nyata”, “kenyataan yang
sesungguhnya”. Sedangkan istilah “logi” beasal dari kata Yunani “logos” yang
berarti “studi tentang” “uraian tentang”. Istilah “kosmologi” berasal dari kata
Yunani kosmos yang berarti “dunia”, “alam”, “tatanan”, “struktur dari sesuatu”.
Istilah “antropologi” berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti
“manusia”, “kemanusiaan”.
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara
penampakan dengan kenyataan. Dari pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah
beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme
atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan
berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Bebarapa
pertanyaan yang berputar sekitar Persoalan-persoalan ontologis di antaranya
adalah :
- Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu ?
- Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan, atau eksistensi ?
- Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan ?
(a)
Persoalan-persoalan kosmologis (alam). Persoalan kosmologis bertalian dengan
asal-mula, perkembangan dan struktur atau susunan alam.
- Jenis keteraturan apa yang ada dalam alam ?
- Keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin (mekanisme) ataukah keteraturan yang bertujuan (teologi)?
- Apa hakikat hubungan sebab dan akibat ?
- Apakah ruang dan waktu itu ?
(b)
Persoalan-persoalan antropologi (manusia)
- Bagaimana terjadi hubungan antara fisik ragawi dan jiwa ?
- Apa yang dimaksud dengan kesadaran?
(c)
Manusia sebagai makhluk bebas atau tak bebas ?
(Ali
Mudhofir: 1997: 17-18).
Selanjutnya
bagaimana dengan ontologi ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ontologi Ilmu adalah
mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang seringkali secara
populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran
rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang
tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana (yang)
“Ada” itu (being Sein, het zijn) (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action).
Ontologi
ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuwan yang bisa dipikirkan
manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera
manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah
manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada dalam batas prapengalaman
(seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan
neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu
adalah bagian kecil dari serangkaian pengetahuan yang dapat ditemukan dan
di pelajari serta dibutuhkan dalam mengatasi berbagai dilema dunia dan
isinya. Dengan kata lain ilmu yang banyak orang mengatakan dengan sebutan
pengetahuan ilmiah, hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian
banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan, dengan melakukan berbagai
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologi (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action).
Hakekat
kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang: (1) kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
itu tunggal atau jamak? dan (2) kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti
misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Beberapa
aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Naturalisme
di dalam seni rupa adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan
seting alam? Istilah- istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
yang ada (being), kenyataan/realitas (reality), eksistensi (existence),
esensi (essence), substansi (substance), perubahan (change),
tunggal (one) dan jamak (many) (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action).
Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari
satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri
sendiri). http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action)
Ilmu
merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alami ini sebagaimana adanya.
Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari
masalah-masalah yang ada di dalamnya, bukan ? akan jauh kita beravontur dalam
penjelajahan ilmiah, masalah-masalah tersebut di atas mau tidak mau akan
timbul : apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari di laboratorium terpendam
proses kimia-fisika atau bersembunyi roh yang halus ? apakah manusia yang
begitu hidup; tertawa, menangis dan jatuh cinta; semua itu proses kimia-fisika
juga ? apakah pengetahuan yang saya dapatkan ini bersumber pada kesadaran
mental ataukah hanya rangsang penginderaan belaka ? ( Jujun, S.
Suriasumantri : 2000: 69-70).
Buku
ini akan dibaca antara lain oleh mahasiswa Pascasarjana UNJ maka,
alangkah baiknya kalau di dalam kajian ontologi ini diberi beberapa contoh
penerapannya untuk masing- masing program Studi yang ada di Pascasarjana UNJ.
Hal ini penting agar ruang lingkup penelitian masing-masing Program Studi
jelas ontologi disiplin keilmuannya.
Contoh:
Program
Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup :
- Pendidikan (formal, nonformal dan informal) merupakan instrumen kuat yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan dapat untuk memobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan sustain ably developed) Education for Sustainable Development (EfSD);
- Melalaui cara menyisipkan wawasan dan konsep secara luas, mendalam dan futuristik tentang perkembangan kependudukan , lingkungan, dan PKLH secara global Hubungan sebab dan akibat, dan cara pengatasannya;
- Penanaman kesadaran, rasa tanggungjawab dan kemampuan kepada semua orang (utamanya generasi muda)) untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan berkelanjutan pada masa sekarang dan yang akan datang;
- kapasitas komunitas atau bangsa yang mampu membangun, mengembangkan dan meng-implementasikan rencana kegiatan yang mengarah kepada sustainable development, yaitu kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan beberapa eco-system, antara lain:
·
- Pengembangan kualitas SDM dan teknologi,
- Pemeliharaan lingkungan dan diversitas
- Keadilan sosial
- Keselarasan dan kelestarian budaya
- Keseimbangan produksi dan konsumsi, dll.
Aspek
yang dapat diangkat dalam penelitian antara lain berikut ini:
- Pendidikan Akhlak Mulia (Ethics) yakni etika lingkungan dari usia dini s/d PT
- Menyiapkan manusia atau SDM yang memiliki kepedulian, pengetahuan, sikap dan perilaku agar dapat mengatasi masalah-masalah kependudukan dan lingkungan Hidup baik tataran lokal, regional, nasional dan global:
Ketahanan
Pangan:
–
Tersedianya bibit unggul dan pupuk organik
–
Konservasi lahan pangan
–
Diversifikasi pangan pokok
–
Perbaikan/pemulihan lahan pertanian
Climate
Change:
–
Konservasi Hutan atau Penghijauan (Carbon ‘sink’)
–
Pengurangan emisi (Reduction of Emission from Deforestration and Degradation
= REDD)
Energi:
–
Energi ramah lingkungan (Geothermal, Solar, Coastal, Wind, Microhydro)
–
Substitusi BBM (yang praktis dan aman)
Lingkungan:
–
Biodiversitas
–
Pengurangan polutan (3R: Reduce, Reuse, Recycle)
Reproduksi
dan Kesehatan:
–
Konservasi air bersih
–
Penanggulangan Tropical Diseases
–
Kontrol Kelahiran
–
Angka harapan hidup
–
Angka kematian dan angka kelahiran
–
Bias gender
EPISTEMOLOGI
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin,
nature, methods and limits of human knowledge) http://telagahikmah.org/id/index.php.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”,
“pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos = teori. Epistemologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika,
pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?” sedangkan dalam epistemologi
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?” http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Epistemologi&action
Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah :
a)
Apakah pengetahuan itu ?
b)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?
c)
Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
d)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?
e)
Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) ?
f)
Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Untuk
membahas, apa itu pengetahuan, apa saja yang diisebut pengetahuan ilmiah,
dengan pengetahuan tidak ilmiah. Apakah filsafat juga disebut pengatahuan dan
bagaimana filsafat ilmu masuk dalam klasifikasi filsafat atau klasifikasi ilmu
? secara mendalam ditulis pada Bab tersendiri oleh Martini Djamaris.
Epistemologi
dalam tulisan ini dibatasi pada aspek epistemologi ilmu yang sering disebut
dengan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalm mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode,
menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ini secara filsafat
termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? apakah
manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? sampai tahap mana
pengetahuan yang mungin untuk ditangkap manusia ? ( Jujun, S. Suriasumantri :
2000).
Sebagaimana
halnya berpikir yang selalu dilakukan kita sebagai kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan, maka metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan
mempunyai karakteristik–karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan
ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan
yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka
metode ilmiah mencoba membangun tubuh pengetahuannya
(
Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Langkah
dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induktif. Berpikir
deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat
konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara
sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan
menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang
telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan
yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Penjelasan
yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan
kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang
bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap
suatu objek pemikiran tertentu.
Proses
kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa
manusia mulai mengamati sesuatu ? Perhatian tersebut dinamakan John Dewey
sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu
dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Dan pertanyaan ini timbul
disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan
berbagai ragam permasalahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “ ada masalah”
baru ada proses kegiatan berpikir dan berpikir baru
dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses
berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan objek empiris.
Ilmu
mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil
jarak dari objek disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia
mistis, dimana semua objek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan
tidak jelas batas-batasnya.
Ilmu
dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga
teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori
merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional
digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus
didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah
pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris sebagai
langkah-langkah yang sempuna yang dapat mengkonstruksi pengetahuan ilmiah.
Langlah-langkah inilah yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut
metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara
konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara
pengetahuan ynag sesuai dengan fakta atau tidak. Secara sederhana maka hal ini
berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni :
(1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus
cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya
sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima
kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika
deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup
berdampingan. Oleh sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris
semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara.
Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan
atau jawaban sementara terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Dalam
melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuwan
seakan-akan melakukan suatu “interograsi terhadap alam”. Hipotesis dalam
hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk
mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif
terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri
merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan
penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman dimana analisis ilmiah berhenti
pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah
hipotesis ini benar atau tidak. Kecenderugan ini terdapat pada ilmuwan yang
sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah
merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisme.
Langkah
selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut
dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam
hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor
apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan
hipotesis tersebut.
Proses
pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis Yang
diajukan. Fakta -fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita
tangkap secara langsung dengan panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan
instrumen yang membantu pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur
berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa
langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir
ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
(1)
Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya;
(2)
Penyusunan kerangka berpikir dlam pengajuan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang
relevan dengan permasalahan; dan
(3)
Perumusan hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipoesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang
cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya
sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung
hipoteis maka hipotesis itu ditolak (Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Namun
menurut Conny R. Semiawan:2007: 152, bahwa Konteks peradaban dunia
yang melampaui batas-batas nasional juga ditandai oleh ciri-ciri
reseptualidsasi masyarakat. Apabila peradaban global mengalami era
agraris (gelombang ke 1), era industri (gelombang ke 2),
era informatika (gelombang ke 3), maka era ke empat juga diiringi
oleh suatu peradaban baru yang ditandai oleh respiritualisasi masyarakat
(gelombang ke 4). Kecenderungan global yang mengakibatkan suasana
sekuler telah juga menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Visi yang
dikedepankan, dalam era ini adalah a deep inner reflection yang ditandai
oleh suatu Mind shift yang bersumber dari suatu authority form within.
Ternyata juga bahwa wawasan dunia yang berubah, yang dilandasi pada
disertai kesadaran bahwa bukan rasio dan logika saja yang menjadi landasan
intelektual, melainkan juga inspirirasi, kreativitas, moral dan intuisi.
Keseluruhan
langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun
langkah-langkah ini secara konseptual tersususun dalam urutan yang teratur,
dimana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun
dalam praktiknya sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang
satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat
dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan
penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa
langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya
namun sekaligus juga merupakan landasan-landasan koreksi bagi langkah yang
lain. Dengan jalan ini diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya
secara empiris.
Dengan
metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai
pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu
faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi
ilmiah dimana penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh
anggota masyarakat ilmuwan-lainnya (Jujun, S. Suriasumantri : 2000:
119-133).
Aksiologi
Aksiologi
berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang
berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka
aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162).
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel
dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua,
esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosio-politik.
Dalam
Encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value
dan valuation, yaitu :
- Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit: berupa sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian luas, berupa: kewajiban, kebenaran dan kesucian. Dalam kaitan ini terkait dengan Teori nilai atau aksiologi. Aksiologi sebagai bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebagai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi;
- Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
- Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevalusi (Paul Edwards, (ed) dalam Amsal Bakhtiar, 2004: 165).
Sama
halnya dengan ontologi dan epistemologi, aksiologi juga melakukan beberapa
pertanyaan yaitu beputar sekitar pada pertanyaaan-pertanyaan: untuk apa
pengetahuan ilmiah itu digunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan
pengetahuan ilmiah dengan kaidah-kaidah moral? bagaimana penentuan objek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana kaitan metode ilmiah
yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Aksiologi&action)
Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai dalam perkembanganya melahirkan sebuah
polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa
disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free).
Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau
yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara
netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai, telah berimplikasi pada kemajuan perkembangan ilmu akan lebih cepat terjadi.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maupun dalam ilmu maka muncullah dua penilain yang sering digunakan yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, dan keadilan (http://mswibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-nilai-dan-etika.htm).
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai, telah berimplikasi pada kemajuan perkembangan ilmu akan lebih cepat terjadi.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maupun dalam ilmu maka muncullah dua penilain yang sering digunakan yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, dan keadilan (http://mswibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-nilai-dan-etika.htm).
Ilmu
merupakan salah satu pengetahuan yang dipentingkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan secara lebih cepat dan lebih mudah. Sebagai
sebuah kenyataan yang tidak bida dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat tergantung pada kemajuan ilmu
Pertanyaan
yang juga akan muncul seputar aksiologi, antara lain: apakah ilmu selalu
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia ? Atau sebaliknya ilmu juga dapat
dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka
bagi manusia itu sendiri. Semua jawabannya ada pada sikap ilmuwan itu sendiri
dan hakikat dari ilmu yang berfungsi untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia.
Setiap
ilmu akan menghasilkan teknologi yang dapat diterapkan kepada masyarakat.
Proses ilmu menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat tentu tidak terlepas sikap ilmuwan. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan
masyarakat, akan berimplikasi pada persoalan etika keilmuan.
Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dijaga dengan
baik, dalam hal tanggung jawab dalam bidang akademis maupun tanggung
jawab moral sebagai seorang ilmuwan.
Apakah
kegunaan ilmu itu bagi kita ? tak dapat disangkal lagi bahwa ilmu telah banyak
mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai
wajah kehidupan yang duka. Apakah ilmu selalu merupakan berkat dan
penyelamat bagi manusia ? Bukankah atom yang diciptakan memiliki
dua sisi mata uang, dimana satu sisi bisa dimanfaatkan sebagai
sumber energi bagi pemenuhan hajat manusia di muka bumi, sedangkan
sisi sebaliknya, dipergunakan sebagai bahan perakit bom atom yang
berakibat dashat bagi penghancuran eksistensi keberadaan manusia dan makhluk
hidup lainnya di area dan sekitar ledakan. Begitu juga berbagai upaya yang
telah dilakukan manusia, sebagai contoh, yaitu usaha untuk memerangi kuman yang
membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang dipakai sebagai alat
untuk membunuh sesama manusia. Einstein mengeluh di hadapan mahasiswa California
Institute of Technology, “Dalam peperangan ilmu menyebabkan kita saling
meracuni dan saling menjegal. Di kerumunan dua, yang sedang
tercipta perdamaian, ilmu membuat hidup kita dikejar waktu
dan penuh dengan ketidakpastianu. Mengapa ilmu yang amati indah ini, yang
menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita ?” (Jujun S. Suriasumantri,
2000:35).
Kalau
kita mengkaji pertanyaan Einstein itu dalam-dalam maka masalahnya
terletak dalam hakekat ilmu itu sendiri. Seperti dicanangkan oleh Francis Bacon
berabad-abad yang silam : pengetahuan adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan itu
akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak
pada orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu sendiri bersifat
netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk dan si pemilik pengetahuan
itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh dalam
memanfaatkan kekuasaan yang besar itu terletak pada sistem nilai si pemilik
pengetahuan tersebut.
Terkait
dengan uraian di atas maka Conny R. Semiawan:2009: 3, melanjutkan
pemikiran di atas bahwa era respiritualisasi, yang merupakan gelombang
peradaban keempat dalam sejarah evolusi budaya manusia (Mayerand, 1997),
menghadirkan a mind shift dalam masyarakat kita yang kini mengacu pada
suatu transformasi (dalam Transformasi disini termasuk transformasi nilai-nilai
spiritual yang digandrungi manusia di era ini.
Netralitas
ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi saja: Jika hitam katakana
hitam, jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga
selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis,
ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada
hakekatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri,
2000:36).
Sikap
inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah
keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang
kuat. Oleh karena itu telah diulas dalam Buku yang sama, Jika
ilmuwan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali
peristiwa yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya
“Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun
S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada Ilmuwan,
sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai
teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh
cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai Sosial : dalam kaitannya
dengan nilai sosial, manusia modern dicirikan oleh sikap individualistik,
menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif
terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai
ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modern
dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu,
terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai
Pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini
dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan
yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai Agama: dalam
hubungannya dengan nilai agama, manusia modern dicirikan oleh sikapnya yang
tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai
lawan dari sikap mistis .[1]
Tentu,
ada beberapa nilai yang harus disaring sesuai dengan ciri adat ketimuran dan
ciri bangsa Indonesia yang menganurt ideologi Pancasila.
Semoga
hal ini disadari oleh kita semua, terutama oleh para pendidik kita, bahwa tak
cukup hanya mendidik ilmuwan yang berotak besar, tetapi mereka pun
harus pula berjiwa besar (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36)..
Hal
ini Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaahan ilmiah yang
mengkaji fenomena alam jagat raya, maka penggunaan ilmu juga dibarengi
dengan asas moral yang relevan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia, yakni sebagai sarana atau alat
dalam meningkatkan taraf hidup, dengan tetap memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, dan kelestarian / keseimbangan alam. Sehingga kajian
ontologi ilmu dibatasi pada dunia empiris dan rasional yang tidak bersentuhan
atu tidak mau atau bahkan tidak boleh mencampuri masalah kehidupan secara
ontologis. Hal ini semata-mata sebagai wujud dari sebuah
kekhawatiran akan berdampak pada upaya mengganggu
keseimbangan kehidupan.
Untuk
kepentingan umat manusia yang terus berjuang menghadapi hidup dan kehidupan
yang dinamik serta penuh dengan keunikan, bahkan melahirkan fenomena misteri
kehidupan yang sulit terdeteksi secara pasti. Maka manusia melahirkan dan
menemukan pengetahuan ilmiah untuk dipergunakan secara komunal dan
universal. Komunal yang bermakna bahwa ilmu merupakan pengetahuan
milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya,
sesuai dengan asas bersama. Universal bermakna bahwa ilmu tidak mempunyai
konotasi parochial seperti ras, ideologi, atau agama. “ilmu Jawa atau
ilmu Sakti, merupakan sesuatu yang diberi atribut oleh ilmu.” Itu sendiri.
Sehingga ilmu adalah universal, artinya lintas ras, ideologi dan agama.
Kemungkinan besar strategis maknanya dan kekuasaannya dalam mengendalikan
kebenaran yang bisa diterima secara bersama lintas parochial. Ilmu lah yang
dapat mampu mempersatukan keberbedaan. Namun demikian tetap saja, di bumi ini
tidak ada yang sempurna, karenanya kita perlu meletakkan ilmu pada tempatnya
yang sewajarnya, dan kita terima hakikat kenyataannya dengan segenap kelebihan
dan kekurangannya. Bersama pengetahuan-pengetahuan lainnya, termasuk
pengetahuan filsafat dan agama, ilmu turut memperkaya khazanah
kebahagiaan kita, seperti apa yang dinyatakan sajak dalam sebuah majalah
keluarga mahasiswa :
Berilah
hamba kearifan
O,
Tuhan !
Seperti
sebuah teropong bintang ;
Tinggi
mengatas galaksi
Rendah
hati di atas bumi
Bukankah
manfaat pengetahuan
Penggali
hakikat kehidupan ?
Lewat
mikroskop
Atau
teleskop
Bimbinglah
si goblok dalam menemukan :
Sebuah
ujud maknawi
Dalam
kenisbian sekarang…
(Jujun
S. Suriasumantri, 2006:40)
Contoh
Penerapan pendekatan ontologi, epistemologi dan aksiologi yang
digunakan untuk membedakan ilmu (pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan
moral:
Etika
sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat moral (moral phylosophy).
Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos = “watak”, “cara
seseorang berbuat dalam kehidupan”, “dorongan moral”. Sedang moral bentuk jamak
mores = kebiasaan). Perbuatan dikatakan menyangkut moral jika dilakykan karena
kebiasaan dan tidak karena ditentukan oleh peraturan hukum. Termasuk juga
disini sikap, nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok. Istilah etika atau
moral dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Etika berbeda dengan
“etiket”. Etika disini berarti “moral” sedangkan etiket berarti “sopan santun”
atau dapat juga “secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan
barang”. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia.
Perbuatan itu dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah
kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral (immoral) dari
tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak
sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenaik pernilaian bermoral atau tidak
bermoral.
Persoalan-persoalan
dalam etika di antaranya adalah :
a)
Apa yang dimaksud “baik” atau “buruk” secara moral ?
b)
Apa syarat-syarat sesuatu perbuatan dikatakn baik secara moral ?
bagaimanakah hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan perbuatan susila ?
bagaimanakah hubungan antara kebebasan kehendak dengan perbuatan perbuatan susila ?
c)
Apa yang dimaksud dengan kesadaran moral ?
d)
Bagaimanakah peranan hati nurani (conscience) dalam setiap perbuatan manusia ?
e)
Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu
pertimbangan yang bukan moral ?
[1]
Nilai-Nilai dikembangkan oleh Spranger (lihat Suriasumantri, 1986 dan Conny
Semiawan, 1993), kemudian oleh Black (1966), dan Peshkin & Cohen (1967)
sebagaimana dikutip dari I made Putrawan, dalam Disertasinya yang berjudul
Modernitas Individu para Petani dan Pekerja Pabrik di Kecamatan Cakung Jakarta
Timur, 1987,
0 komentar:
Posting Komentar