Orientasi
Agama, Pola Motivasi, dan Rasionalisasi
A.
Weber
dan Marx Mengenai Pengaruh Ide Agama
Menurut
Marx, perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan sejarah serta
transisi dari satu tipe ke tipe struktur sosial lainnya. Perjuangan kelas
mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomi obyektif yang berlawanan dalam
kelas-kelas yang berbeda, khususnya apabila kelas bawah itu sadar akan
kepentingan ini melalui kesadaran kelas. kepentigan-kepentingan ini ditentukan
oleh kondisi-kondisi materil di mana para anggota dari kelas-kelas yang berbeda
itu berada.
Weber
Mengakui pentingnya kondisi materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi
kepercayaan, nilai, dan perilaku manusia. Sebenarnya, Weber memperluas
perspektif Marx mengenai stratifikasi. Weber berpendapat bahwa teori Marx
terlalu berat sebelah, yang hanya mengakui pengaruh ekonomi dan materi, serta menyangkal
bahwa ide-ide, bahkan ide-ide agama dapat mempunyai pengaruh yang independen
sifatnya terhadap perilaku manusia. Weber menekankan bahwa orang mempunyai
kepentingan ideal dan juga materil.
B.
Kepercayaan
Protestan dan Perkembangan Kapitalisme
Tesis
Weber sudah ditanggapi dalam buku yang tidak terbilang jumlahnya, baik yang
bersifat pro maupun kontra. Dalam melihat kontroversi yang muncul dari tesisnya
ini, harus jelas bahwa dia tidak mengemukakan kapitalisme disebabkan oleh
Protestantisme. Baik Protestantisme maupun Kapitalisme menyangkut pandangan
hidup yang rasional dan sistematis. Etika Protestan member tekanan kepada usaha
menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, dan menekankan kerajinan dalam
melaksanakan tugas dalam semua segi kehidupan, khususnya dalam pekerjaan dan
kegiatan ekonomi pada umumnya.
Lebih
lanjut Weber mengakui bahwa pengaruh protestantisme ini pada kapitalisme tidak
harus tetap selamanya. Pandangan bahwa Protestantisme membantu merangsang
munculnya kapitalisme pada tahap-tahap awalnya tidaklah berarti bahwa
kapitalisme itu seterusnya membutuhkan legitimasi agama. Weber mengakui bahwa
sesudah kapitalisme itu berdiri, dia lalu menjadi otonom dan berdikari, tanpa
membutuhkan dukungan agama.
C.
Etika
Protestantisme sebagai Protes Terhadap Katolisisme
Bagi
Weber, etika Protestan memperlihatkan suatu orientasi agama yang bersifat
asketik dalam dunia yang jauh lebih lengkap dari pada agama besar apapun
lainnya, termasuk katolisisme. Asketisme
dalam dunia menunjukkan pada komitmen
untuk menolak kesempatan atau sangat membatasi diri untuk menuruti keinginan
fisik atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik untuk mengejar
suatu tujuan yang “lebih tinggi” atau yang bersifat spiritual ; tujuan
spiritual ini harus dicapai melalui suatu komitmen yang sistematis dan rajin
dalam melaksanakan tugas didunia ini.
Orientasi
asketik dalam dunia itu harus dimengerti sebagai sesuatu yang muncul dari
keyakinan agama yang murni, yang berhubungan dengan peran gereja yang
sebenarnya dalam fungsinya sebagai perantara antara individu dengan Allah dan
dalam memperoleh keselamatan. Orang percaya bahwa gereja didirikan untuk
melayani, sebagai suatu bendahara rahmat Allah yang besar, di mana iman-iman
dapat menyalurkannya kepada mereka yang mengambil bagian dalam sakramen-sakramen
yang sudah di tetapkan.
Bersama
dengan pergeseran dalam tekanan pada peran yang tepat dan ruang lingkup gereja,
pembaru-pembaru Protestan serta para pengikutnya merendahkan status
pejabat-pajabat gereja serta para anggota konggregasi agama yang secara
religius lebih unggul. Sebaliknya, mereka mengemukakan bahwa semua orang sama
di depan Allah, tanpa memandang panggilannya yang khusus dan semua orag
mempunyai kesempatan yang sama serta kewajiban untuk mengabdi kepada Allah
menurut panggilannya sendiri-sendiri.
D.
Etika
Protestan dan Proses Sekularisasi
Terlepas
dari kepercayaan tertentu yang dianut, Protestantisme merupakan suatu dobrakan
utama terhadap tradisi. Sama juga halnya, munculnya kapitalisme membutuhkan
suatu keadaan di mana sejumlah tekanan tradisional terhadap kegiatan ekonomi
itu hilang. Namun yang ditekankan Weber adalah bahwa ide-ide tertentu dalam
Protestantisme memperlihatkan suatu perubahan dari tradisionalisme ke suatu
orientasi yang lebih rasional.
Orang-orang
Protestan pada masa-masa awalnya tidak membayangkan akibat-akibat dari etika
asketik yang bersifat dalam dunia itu, yang dalam jangka panjang menghasilkan
sekularisasi. Tentu ini bukanlah merupakan tujuan mereka. Kita mengutib Weber :
Karena
asketisme berusaha untuk mengubah dunia dan untuk malaksanakan ideal-idealnya
di dunia, benda-benda materil memperoleh kekuatan yang semakin bertambah dan
akhirnya bersifat mutlak terhadap kehidupan manusia, yang tidak pernah terjadi
dalam periode sejarah sebelumnya.
Ide-ide
Weber mengenai pengaruh etika Protestan tidak didasarkan pada analisa sejarah
yang sistematis.
E.
Protestantisme
Dibandingkan dengan Agama-Agama Dunia Lainnya
Karya
Weber mengenai agama-agama besar di dunia sangat bernilai bagi kita di masa
kini. Dia menganalisa agama sebagai suatu dasar utama bagi pembentukan kelompok
status dan pelbagai tipe struktur kepemimpinan dalam kelompok agama. Dia
menerima saling ketergantungan timbal balik antara kepercayaan agama dan
motivasi di satu pihak dan gaya hidup serta kepentingan materil di pihak lain. Dalam
membandingkan pelbagai agama dunia dengan Protestantisme, tekanannya adalah
pada pengaruh sistem kepercayaan agama-agama itu terhadap pola motivasi dan
tindakan dalam dunia sekuler, khususnya dalam dunia ekonomi. Dalam Hinduisme,
misalnya, tipe kegiatan ekonomi dan kegiatan sekuler lainnya dikendalikan oleh
peribahasa atau pepatah di mana individu harus menyesuaikan dirinya dengan
kewajiban-kewajiban tradisional menurut posisi kastanya.
Dalam
Yudeisme kuno, keterlibatan aktif didalam meningkatkan perubahan dalam dunia
materil dan sosial sangat di hidupkan, seperti halnya dalam Protestantisme.
Tetapi keterlibatan ini di lihat sebagai persiapan untuk suatu abad Masianis
yang akan datang dan yang akan dimulai oleh suatu intervensi adiduniawi.
Beberapa
kritik literature kelihatannya salah meginterpretasi apa yang sesungguhnya
Weber maksudkan. Dia tidak mengatakan bahwa keserakahan akan benda-benda
materil muncul bersama Protestantisme. Juga dia tidak katakana bahwa
Protestantisme hanyalah sebuah rasionalisasi agama saja untuk mengajar
tujuan-tujuan berhasil dicapai dalam bidang materil. Kekhasan etika Protestan
adalah kemampuanya untuk mendorong tindakan jangka panjang, disiplin,
sistematis dalam tugas pekerjaan sekuler sebagai suatu tugas agama.
F.
Etika
Kerja Masyarakat Modern
Terlepas
dari argumen pro dan kontra terhadap tesis etika Protestan Weber, isu etika
kerja masih merupakan isu dasar dalam sosiologi masa kini. Beberapa analisa
sosial mengemukakan bahwa pertumbuhan kelimpahan materi dan bertambahnya waktu
senggang sangat mengancam etika kerja tradisional. Lebih dramatis lagi, orang
muda yang belakangan ini sudah memutuskan untuk keluar dari “ sistem ” dengan
alasan apa sekali pun, kelihatanya sudah menolak bentuk etika kerja dimana
orang membaktikan dirinya untuk keberhasilan pekerjaan dalam suatu sistem
birokrasi.
Rasionalitas
dan efisiensi yang terus meningkat yang dapat kita lihat dalam pola
motivasional dan organisasional, dibayar dengan harga yang sangat tinggi secara
psikologis.
Dalam
melihat biaya psikologis yang mengerikan dari etika kerja sekuler yang memaksa
yang disalurkan kedalam perang-perang birokratis yang sempit, tidak
mengherankan kalau etika kerja itu kehilangan dayanya di beberapa kalangan
penduduk, atau beberapa kelompok secara periodik memilih untuk “ keluar ” dari
suatu sistem yang didominasi, seperti yang mereka lihat, oleh
keharusan-keharusan birokratis dan teknogratis yang sempit. Juga agak
mengherankan bahwa Weber melihat masa depan itu dengan mata yang suram.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah
ciri khas karya Weber yang perlu dicatat adalah bahwa ide-ide teoritisnya
sangat luas terjalin dengan analisa historis. Jang kauan pengetahuan sejarahnya
yang mampu dia gunakan untuk mengembangkan dan menggambarkan ide-ide
teoritisnya mungkin tidak ada bandingnya dengan para ahli teori klasik dan para
ahli teori masa kini.
Mungkin
salah satu alasan utama bagi pendekatan Weber yang bersifat terbuka itu
terhadap data sejarah adalah pendiriannya mengenai pemahaman arti subyektif
yang terdapat dalam peristiwa-peristiwa sejarah itu. Dari pada menginterpretasi
peristiwa sejarah dengan memaksakan arti seperti teoritisnya sendiri mengenai
peristiwa itu, dia berusaha memahami peristiwa-peristiwa serupa itu menurut
artinya bagi mereka yang benar-benar terlibat.
Titik
tolak Weber pada tingkat individual mengigatkan kita bahwa struktur sosial atau
sistem budaya tidak dapat dipikirkan sebagai suatu yang berada secara terlepas
dari individu yang terlibat didalamnya. Struktur social terdiri dari pola-pola
tindakan social tertentu dan interaksi (yang didefinisikan Weber sebagai
istilah yang bersifat probabilistik), dan system budaya bekerja dalam kehidupan
social kalau system itu mempengaruhi orientasi subyektiv dan motivasi individu.
Pendekatan Weber memperlihatkan secara meyakinkan bahahwa melihat individu
sebagai satuan utama dalam analisa sosiologis sama sekali tidak megesampingkan
analisa system sosial yang besar atau pola-pola historis yang besar.
B. Saran
0 komentar:
Posting Komentar