BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Meskipun Comte yang memberikan istilah
“positivistis”, gagasan yng terkandung didalam bukan dari dia asalnya. Kaum
positivistis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa
metode – metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukumnya, sudah tersebar luas dikalangan intelektual dimna Comte hidup.
Tetapi sementara kebanyakan orang kelompok
positivis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang
bertekad mencampakkan tradisi- tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat
menurut hokum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa
penemuan hukum – hukum alam itu akan membukakan batas – batas yang pasti yang
melekat dalam kenyataan social, dan melampaui batas – batas itu usaha pembaruan
akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan
organic yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang
saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian
empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu
bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah perspektif positivistis August Comte
terhadap masyarakat ?
2. Bagaimana hukum tiga tahap menurut August Comte ?
3. Bagaimana hubungan tahap-tahap intelektual dan
organisasi social ?
4. Bagaimana prinsip-prinsip keteraturan social ?
5. Bagaimanakah agama humanitas menurut comte ?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui
perspektif positivistis August Comte terhadap masyarakat.
2.
Mengetahui hukum
tiga tahap menurut August Comte.
3.
Mengetahui hubungan tahap-tahap intelektual dan
organisasi social.
4.
Untuk mengetahui
prinsip-prinsip keteraturan social.
5.
Mengetahui agama humanitas menurut comte.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN PANDANGAN POSITIVISTIS COMTE TERHADAP
MASYARAKAT.
Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta yang dapat
diuji yang melandasi pengetahuan yang sah. Maka model teologis dan metafisika
dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar. Sehingga Comte menolak
cara berfikir orang purba yang menjadikan agama sebagai penginterpretasi
terhadap gejala-gejala.
Gagasan tentang perspektif ilmu
pengetahuan dalam mengkaji prilaku manusia muncul pada pertengahan abad ke - 19
dari seorang filosof Perancis “Auguste Comte” (1798 – 1857). Tujuan Comte
adalah membangun perspektif sosiologi dalam satu fondasi positivistic dengan
ilmu-ilmu alam.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat
yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang
logis melalui nama semua ilmu-ilmu lainnya sudah melewatinya. Kemajuan ini
mencakupperkembangan mulai dari bentuk bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya samapi
keterbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Mengatasi cara-cara berfikir mutlak yang terdapat
dalam tahap-tahap pra positif, menerima kenisbian pegetahuan kita serta terus
menerus terbuka terhadap kenyataan-kenyataan baru, merupakan cirri khas yang
membedakan pendekatan positive yang digambarkan Comte. Dia menulis :
Kalau kita
memandang semangat positive itu dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah.. kita
akan menemukan bahwa pilsafat ini dibedakan dari metafisika-teologis oleh
kecenderungannya untuk menisbikan ide-ide yang tadinya dipandang mutlak… dalam
suatu pandangan ilmiah,pertentangan antara yang nisbih dan yang mutlak dapat
dilihat sebagai perwujudan yang paling menentukan dari perselisihan antara
filsafat modern dan filsapat kuno. Semua penelitian mengenai hakikat dari
segala yang ada tentang sebab-sebab pertama dan terakhir, harus selalu mutklak
; sedangkan study mengenai hukum gejala harus bersifat nisbih karna study itu
mengandaikan suatu kemajuan pemikiran terus menerus, yang tunduk pada
penyempurnaan pengamatan secara bertahap, tanpa pernah akan membukakan secara
penuh kenyataan setepat-tepatnya; jadi sifat nisbih konsepsi ilmiah tidak
terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam, seperti
halnya kecenderungan khayali akan pengetahuan mutlak yang menyertai setiap
penggunaan fiksi teologis dan hal-hal metafisik.
Pokok pandangan yang dinyatakan Comte dengan agak
angkuh ini, wajar dalam disiplin sosiologi masa kini, yang sulit untuk menilai
secara tepat bagaimana pentingnya suatu perubahan yang terjadi dimasa comte.
Sesudah mementukan sifat epistimologi umum
(seperangkat gagasan) dari pendekatan positif, comte lalu menunjukkan
metode-metode khusus penelitian empiris yang sama untuk semua ilmu : pengamata,
eksperimen, dan perbandingan.
B. HUKUM TIGA TAHAP
Hukum tiga tahap merupakan usaha comte untuk
menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai kepada
peradaban prancis abad ke 19 yang sangat maju. Hukum ini yang mungkin paling
terkenal dari gagasan gagasan teortis pokok comte, tidak lagi di terima sebagai
suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas
dan umum sehingga tidak dapat benar benar tunduk pada pengujian empiris secarah
teliti, yang menurut comte harus ada untuk membentuk hukum hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatkan
bahwa masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama.
Tahap-tahap ini dtentukan menurut cara berfikir yang dominan teologis,
metafisik, dan positive. Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda
ini meluas kepola kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat. Adi watak
stuktur sosial masyarakat bergantung pada gaya etimologisnya atau pandangan
dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.
Karakter yang khusus dari ketiga
tahap ini disajikan secara singkat sebagai berikut:
Dalam fase teologis, akal budi
manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir
(asal dan tujuan) dari segala akibat, pengetahuan absolute mengandaikan bahwa
gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural.
Dalam fase metafisik, yang hanya
merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal
sipranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar
nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi), dan
yang mampu menghasilkan semua gejala.
Dalam fase terakhir, yakni fase
positif, akal budi sudah meniggalkan pencarian yang sia-sia terhadap
pengertian-pengertian absolute, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab
gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan
urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan,
digabumgkan secara tepat, merupat sarana-sarana pengetahuan ini.
Tahap teologis merupakan periode
yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci,
Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politisme, dan monoteisme,.
Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi
kepercayaan bahwa semua bena memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri.
Akhirnya fetisisme diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal
supernatural yang meskipun berbeda dengan benda-benda alam, namun terus
mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan
akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tiggi.
Katolisisme di abad pertengahan meperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan
tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh suatu
kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal
budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut
dari semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu
manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of
Independence: “ kita menganggap kebenara ini jelas dari dirinya sendiri…”
Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas
dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sagat mendasar dalam cara berfikir
metafisik.
Tahap positif ditandai oleh
kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi
pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism
memperlihatkan suatu keterbukan terus-menerus terhadap data baru atas dasar
mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan dipeluas. Akal budi penting,
seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris.
Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk
memperoleh hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih dari pada
kemutlakan metafisik.
Metode positif memungkinkan
seseorang untuk menemukan dan memahami hukum-hukum alam dan gejala-gejala
sosial, sehingga mampu mengembangkan potensi intelekual dan tatanan moral yang
akan menyatukan kemajuan dan keteraturan bertentangan dengan situasi kacau yang
masih berlangsung sekarang ini, sosiologi harus merupakan ilmu yang terpadu dan
menyatu, berdasarkan metode positif yang secara langsung memberi sumbangan
terhadap evolusi sebuah tatanan moral. Oleh karena itu, Comte memandang seluruh
pengetahuan sebagai ilmu sosial alam dalam pengertianya yang luas karena ia
menggambarakan perkembangan konteks sosial, khususnya sebagai salah satu dari
tiga tahapan intelektual tersebut.
C. HUBUNGAN ANTARA TAHAP-TAHAP INTELEKTUAL DAN ORGANISASI
SOSIAL
Argumentasi-argumentasi Comte untuk
menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap
teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu
menanamkan disiplin sosial yang perilaku untuk kegiatan militer. Kegiatan
militer diperlukan hanya karena hal itu merupakan cara yang paling menarik dan
paling sederhana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materil. Juga mentalitas
teologis dan militer, seperti yang dianalis Comte, sangat bersifat mutlaki.
Selama periode teologis, keluarga
merupakan satuan sosial yang dominan (meskipun ada kelompok-kelompok yang lebih
besar yang didirikan untuk kegiatan militer, atau sebagai hasil dari pengadaan
militer). Dalam periode metafisik Negara-negara menjadi suatu organisasi yang
dominan. Comte optimis bahwa munculnya tahap positif, nasionalisme akan
digantikan dangan keteraturan sosial yang meliputi humanitas seluruhnya.
Terkandung dalam diskusi mengenai arti sosial dari ketiga fase ini. Adalah
pengaruhnya terhadap perasaan manusia. Sehubungan dengan evolusi intelektual,
ada evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingakaran yang makin lama makin luas
dengan mana individu menentukan ikatan-ikatan emosionalnya. Pada tahap awal
manusia dikenal terutama dengan keluarganya; kemudian ikatan emosional meluas;
akhirya manusia terasa terikat dengan humanitas keseluruhannya.
Comte mungkin mau menjelaskan
bagaimana penjelasan-penjelasan religius mengenai berbagai gejala disebagian
besar kalangan penduduk modern masih diberikan dengan cara ini. Tetapi
kebanyakan ahli sosiologi agama masa kini akan mengemukaan bahwa pemikiran
agama modern berorientasi dunia pengetahuan yang berbeda secara kualitatif dari
ilmu pengetahuan ; miasalnya, ilmu berhubungan dengan penjelasan mengenai
gejala empiris, tetapi agama berhubungan dengan pertanyaan tentang arti tujuan
hidup, yang tidak biasa dijawab dengan metode-metode ilmiah.
Cepatnya perubahan dari satu tahap
intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang
berbrda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi,
apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-harmonis pandangan
adalah relatif tinggi, dan organisasi sosial, struktur politik, cita-cita
moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling
ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya periode-periode dimana
perubahan yang pesat dari suatu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedang
terjadi, ditandai oleh kekacauan intlektual dan sosial.
makin besar kekacauan dalam masa peralihan dan makin lama berlangsungnya, makin menunjukkan terjadinya pergeseran dari satu tahap evolusi ketahap berikutnya.
makin besar kekacauan dalam masa peralihan dan makin lama berlangsungnya, makin menunjukkan terjadinya pergeseran dari satu tahap evolusi ketahap berikutnya.
Meskipun hukum kemajuan menjamin
evolusi jangka panjang dari suatu tahap ke tahap berikutnya, berbagai faktor
sekunder dapat mempercepat atau menghambat, misalnya pertumbuhn penduduk.
Proses evolusi dapat dihambat oleh dominasi filsafat yang berkepanjangan, yang
merupakan kiblat dari usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi
kekacauan suatu periode transisi dengan mengemukakan kembali metode yang cocok
dengan periode sebelumnya. juga dapat dihalangi oleh usaha untuk mengadakan
perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka menghancurkan keteraturan
sosial yang mendasar yang perlu untuk kemajuan intelektual atau sosial.
Comte sangat tajam dalam mencela
mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa secukupnya sadar akan batas-batas
yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau
sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dari tahap-tahap sebelumnya.
Mereka yang mau meningkatkan kemajuan tanpa sadar akan persyaratan-persyaratan
keteraturan, sebenarnya mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis.
D. PRINSIP- PRINSIP KETERATURAN SOSIAL
Analisa Comte mengenai keteraturan
sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan
keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua,
usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
positivism, tetapi yang menyagkut perasaan dan intelek.
Satu sumbangan sosial Comte yang
penting dari tahap perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan
konsensus intelektual. Konsensus terhadap kepercayaan-keparcayaan serta
pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam
masyarakat. Karen kebanyakan sejarah manusia berada di bawah dominasi cara
berpikir teologis, tidak mengherankan kalau agama dilihat utama sebagai sumber
solidaritas sosial dan konsensus. Selain ini isi kepercayaan agama mendorong
individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan
individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu
dalam keteraturan sosial.
Pentingnya agama dalam mendukung
solidaritas sosial dapat dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan
agama biasanya berhubungan erat. Singkatnya secara tradisional agama sudah
merupakan institusi pokok yang mementingkan akulturism dari pada egoism.
Comte berpandangan bahwa, individu
sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga
satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan
keluarga-keluarga. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan
dan kerja sama ekonomi.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah
merupakan suatu gejala sosial alamiah yang dapat diruntut bentuk dasarnya,
sampai pada masyarakat-masyarakat primitive. Tetapi pemerintah akan meluas,
begitu masyarakat menjadi menjadi lebih kompleks karena bertambahnya pembagian
kerja.
E. AGAMA HUMANITAS
Dengan agak sederhana comte mengemukakan gagasan
untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan
suatu agama baru ( Agama Humanitas) dan mengangkat dirinya sebai imam agung.
Ini aspek kedua dari perhatian comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama
meliputi suatu analisa obyektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam
masyarakat ; fase kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial
dengan agama humanitas sebagai cita cita normatifnya. Ini merupakan pokok
permasalahan pertama dalam bukunya yang berjudul “ Sistem Of Positive
Politic”
Banyak ahli menyetujui bahwa buku comte yang
berjudul “ Sistem Of Positive Politic” itu secara intelektual tidak semutu
bukunya yang terdahulu, “Course Of Positive Philosophy”. Beberapa kritik
mengatakan bahwa comte sudah gila ketika dia memulai karyanya ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penjelasan dari pembahasan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa teori-teori comte merpakan contoh yng sama dri
type mekanis eorik dan organik. Dalam menaggapi kekacaun politik dalam masanya,
dalam posisi ada tradisi pencerahan filsafat, ia mengembangkan model
naturalisik dan konservativ dari realitas sosial yang didasarkan pada sumsi
determanistik dan anturlistik yang menyankut gejala sosial. Menurur ahli teori
ini, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada
seperangakt nilai sosial terentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri
kemanusian sebagai dasardari tata aturan alam.
Struktur-struktur sosial sebga satu
kesatuan yang berkembang melalui tiga tahapan utama, tahapan teologis,
metafsis, dan pisitivistis sebagai proses peradaban dan pengaruh faktor-faktor
tertentu, sepeti keboosanan, harapan hidup, sifat-sifat populasi, mengubah
pondasi masyarakat dari tatanan naluri yang rendah menuju tatanan yang tinggi
dan mengarah pada penekannan yang lebih bersifat intelektual dan positiv.
B.
SARAN
Semoga makalah ini bias memberikan
manfaat untuk kita semu dan kelompok kami menyarankan jangan puas dengan apa
yang ada dalam isi makalah kami karna masih banyak lagi sumber referensi yang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar