.quickedit{ display:none; }
About Me

Kamis, 01 November 2012

PERSPEKTIF AUGUSTE COMTE TENTANG MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Meskipun Comte yang memberikan istilah “positivistis”, gagasan yng terkandung didalam bukan dari dia asalnya. Kaum positivistis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode – metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebar luas dikalangan intelektual dimna Comte hidup. Tetapi sementara kebanyakan orang kelompok  positivis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi- tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hokum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa penemuan hukum – hukum alam itu akan membukakan batas – batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan social, dan melampaui batas – batas itu usaha pembaruan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah perspektif positivistis August Comte terhadap masyarakat ?
2.      Bagaimana hukum tiga tahap menurut August Comte ?
3.      Bagaimana hubungan tahap-tahap intelektual dan organisasi social ?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip keteraturan social ?
5.      Bagaimanakah agama humanitas menurut comte ?
                              


C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui perspektif positivistis August Comte terhadap masyarakat.
2.      Mengetahui hukum tiga tahap menurut August Comte.
3.      Mengetahui  hubungan tahap-tahap intelektual dan organisasi social.
4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip keteraturan social.
5.      Mengetahui  agama humanitas menurut comte.
                              



























BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DAN PANDANGAN POSITIVISTIS COMTE TERHADAP MASYARAKAT.
Positivisme  adalah ajaran bahwa hanya fakta yang dapat diuji yang melandasi pengetahuan yang sah. Maka model teologis dan metafisika dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar. Sehingga Comte menolak cara berfikir orang purba yang menjadikan agama sebagai penginterpretasi terhadap gejala-gejala.
Gagasan tentang perspektif ilmu pengetahuan dalam mengkaji prilaku manusia muncul pada pertengahan abad ke - 19 dari seorang filosof Perancis “Auguste Comte” (1798 – 1857). Tujuan Comte adalah membangun perspektif sosiologi dalam satu fondasi positivistic dengan ilmu-ilmu alam.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui nama semua ilmu-ilmu lainnya sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakupperkembangan mulai dari bentuk bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya samapi keterbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Mengatasi cara-cara berfikir mutlak yang terdapat dalam tahap-tahap pra positif, menerima kenisbian pegetahuan kita serta terus menerus terbuka terhadap kenyataan-kenyataan baru, merupakan cirri khas yang membedakan pendekatan positive yang digambarkan Comte. Dia menulis :
Kalau kita memandang semangat positive itu dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah.. kita akan menemukan bahwa pilsafat ini dibedakan dari metafisika-teologis oleh kecenderungannya untuk menisbikan ide-ide yang tadinya dipandang mutlak… dalam suatu pandangan ilmiah,pertentangan antara yang nisbih dan yang mutlak dapat dilihat sebagai perwujudan yang paling menentukan dari perselisihan antara filsafat modern dan filsapat kuno. Semua penelitian mengenai hakikat dari segala yang ada tentang sebab-sebab pertama dan terakhir, harus selalu mutklak ; sedangkan study mengenai hukum gejala harus bersifat nisbih karna study itu mengandaikan suatu kemajuan pemikiran terus menerus, yang tunduk pada penyempurnaan pengamatan secara bertahap, tanpa pernah akan membukakan secara penuh kenyataan setepat-tepatnya; jadi sifat nisbih konsepsi ilmiah tidak terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam, seperti halnya kecenderungan khayali akan pengetahuan mutlak yang menyertai setiap penggunaan fiksi teologis dan hal-hal metafisik.   
Pokok pandangan yang dinyatakan Comte dengan agak angkuh ini, wajar dalam disiplin sosiologi masa kini, yang sulit untuk menilai secara tepat bagaimana pentingnya suatu perubahan yang terjadi dimasa comte.
Sesudah mementukan sifat epistimologi umum (seperangkat gagasan) dari pendekatan positif, comte lalu menunjukkan metode-metode khusus penelitian empiris yang sama untuk semua ilmu : pengamata, eksperimen, dan perbandingan.

B.     HUKUM TIGA TAHAP
Hukum tiga tahap merupakan usaha comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai kepada peradaban prancis abad ke 19 yang sangat maju. Hukum ini yang mungkin paling terkenal dari gagasan gagasan teortis pokok comte, tidak lagi di terima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tidak dapat benar benar tunduk pada pengujian empiris secarah teliti, yang menurut comte harus ada untuk membentuk hukum hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatkan bahwa masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini dtentukan menurut cara berfikir yang dominan teologis, metafisik, dan positive. Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas kepola kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat. Adi watak stuktur sosial masyarakat bergantung pada gaya etimologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.
Karakter yang khusus dari ketiga tahap ini disajikan secara singkat sebagai berikut:
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat, pengetahuan absolute mengandaikan bahwa gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural.
Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal sipranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi), dan yang mampu menghasilkan semua gejala.
Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meniggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolute, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabumgkan secara tepat, merupat sarana-sarana pengetahuan ini.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politisme, dan monoteisme,. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua bena memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri. Akhirnya fetisisme diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dengan benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tiggi. Katolisisme di abad pertengahan meperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: “ kita menganggap kebenara ini jelas dari dirinya sendiri…” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sagat mendasar dalam cara berfikir metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan dipeluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih dari pada kemutlakan metafisik.
Metode positif memungkinkan seseorang untuk menemukan dan memahami hukum-hukum alam dan gejala-gejala sosial, sehingga mampu mengembangkan potensi intelekual dan tatanan moral yang akan menyatukan kemajuan dan keteraturan bertentangan dengan situasi kacau yang masih berlangsung sekarang ini, sosiologi harus merupakan ilmu yang terpadu dan menyatu, berdasarkan metode positif yang secara langsung memberi sumbangan terhadap evolusi sebuah tatanan moral. Oleh karena itu, Comte memandang seluruh pengetahuan sebagai ilmu sosial alam dalam pengertianya yang luas karena ia menggambarakan perkembangan konteks sosial, khususnya sebagai salah satu dari tiga tahapan intelektual tersebut.
C.     HUBUNGAN ANTARA TAHAP-TAHAP INTELEKTUAL DAN ORGANISASI SOSIAL
Argumentasi-argumentasi Comte untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu menanamkan disiplin sosial yang perilaku untuk kegiatan militer. Kegiatan militer diperlukan hanya karena hal itu merupakan cara yang paling menarik dan paling sederhana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materil. Juga mentalitas teologis dan militer, seperti yang dianalis Comte, sangat bersifat mutlaki.
Selama periode teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan (meskipun ada kelompok-kelompok yang lebih besar yang didirikan untuk kegiatan militer, atau sebagai hasil dari pengadaan militer). Dalam periode metafisik Negara-negara menjadi suatu organisasi yang dominan. Comte optimis bahwa munculnya tahap positif, nasionalisme akan digantikan dangan keteraturan sosial yang meliputi humanitas seluruhnya. Terkandung dalam diskusi mengenai arti sosial dari ketiga fase ini. Adalah pengaruhnya terhadap perasaan manusia. Sehubungan dengan evolusi intelektual, ada evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingakaran yang makin lama makin luas dengan mana individu menentukan ikatan-ikatan emosionalnya. Pada tahap awal manusia dikenal terutama dengan keluarganya; kemudian ikatan emosional meluas; akhirya manusia terasa terikat dengan humanitas keseluruhannya.
Comte mungkin mau menjelaskan bagaimana penjelasan-penjelasan religius mengenai berbagai gejala disebagian besar kalangan penduduk modern masih diberikan dengan cara ini. Tetapi kebanyakan ahli sosiologi agama masa kini akan mengemukaan bahwa pemikiran agama modern berorientasi dunia pengetahuan yang berbeda secara kualitatif dari ilmu pengetahuan ; miasalnya, ilmu berhubungan dengan penjelasan mengenai gejala empiris, tetapi agama berhubungan dengan pertanyaan tentang arti tujuan hidup, yang tidak biasa dijawab dengan metode-metode ilmiah.
Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang berbrda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi, apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-harmonis pandangan adalah relatif tinggi, dan organisasi sosial, struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya periode-periode dimana perubahan yang pesat dari suatu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedang terjadi, ditandai oleh kekacauan intlektual dan sosial.
makin besar kekacauan dalam masa peralihan dan makin lama berlangsungnya, makin menunjukkan terjadinya pergeseran dari satu tahap evolusi ketahap berikutnya.
Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang dari suatu tahap ke tahap berikutnya, berbagai faktor sekunder dapat mempercepat atau menghambat, misalnya pertumbuhn penduduk. Proses evolusi dapat dihambat oleh dominasi filsafat yang berkepanjangan, yang merupakan kiblat dari usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan mengemukakan kembali metode yang cocok dengan periode sebelumnya. juga dapat dihalangi oleh usaha untuk mengadakan perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka menghancurkan keteraturan sosial yang mendasar yang perlu untuk kemajuan intelektual atau sosial.
Comte sangat tajam dalam mencela mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa secukupnya sadar akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dari tahap-tahap sebelumnya. Mereka yang mau meningkatkan kemajuan tanpa sadar akan persyaratan-persyaratan keteraturan, sebenarnya mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis.
D.    PRINSIP- PRINSIP KETERATURAN SOSIAL
Analisa Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivism, tetapi yang menyagkut perasaan dan intelek.
Satu sumbangan sosial Comte yang penting dari tahap perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan konsensus intelektual. Konsensus terhadap kepercayaan-keparcayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat. Karen kebanyakan sejarah manusia berada di bawah dominasi cara berpikir teologis, tidak mengherankan kalau agama dilihat utama sebagai sumber solidaritas sosial dan konsensus. Selain ini isi kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial.
Pentingnya agama dalam mendukung solidaritas sosial dapat dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan agama biasanya berhubungan erat. Singkatnya secara tradisional agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkan akulturism dari pada egoism.
Comte berpandangan bahwa, individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala sosial alamiah yang dapat diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitive. Tetapi pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi menjadi lebih kompleks karena bertambahnya pembagian kerja.
E.     AGAMA HUMANITAS
Dengan agak sederhana comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan suatu agama baru ( Agama Humanitas) dan mengangkat dirinya sebai imam agung. Ini aspek kedua dari perhatian comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu analisa obyektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat ; fase kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama humanitas sebagai cita cita normatifnya. Ini merupakan pokok permasalahan pertama dalam bukunya yang berjudul “ Sistem Of Positive Politic”
Banyak ahli menyetujui bahwa buku comte yang berjudul “ Sistem Of Positive Politic” itu secara intelektual tidak semutu bukunya yang terdahulu, “Course Of Positive Philosophy”. Beberapa kritik mengatakan bahwa comte sudah gila ketika dia memulai karyanya ini.







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Penjelasan dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori-teori comte merpakan contoh yng sama dri type mekanis eorik dan organik. Dalam menaggapi kekacaun politik dalam masanya, dalam posisi ada tradisi pencerahan filsafat, ia mengembangkan model naturalisik dan konservativ dari realitas sosial yang didasarkan pada sumsi determanistik dan anturlistik yang menyankut gejala sosial. Menurur ahli teori ini, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada seperangakt nilai sosial terentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri kemanusian sebagai dasardari tata aturan alam.
Struktur-struktur sosial sebga satu kesatuan yang berkembang melalui tiga tahapan utama, tahapan teologis, metafsis, dan pisitivistis sebagai proses peradaban dan pengaruh faktor-faktor tertentu, sepeti keboosanan, harapan hidup, sifat-sifat populasi, mengubah pondasi masyarakat dari tatanan naluri yang rendah menuju tatanan yang tinggi dan mengarah pada penekannan yang lebih bersifat intelektual dan positiv.

B.     SARAN
Semoga makalah ini bias memberikan manfaat untuk kita semu dan kelompok kami menyarankan jangan puas dengan apa yang ada dalam isi makalah kami karna masih banyak lagi sumber referensi yang lain.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About